Rabu, 28 Oktober 2009

Sumpah Pemuda di Era Globalisasi

SUMPAH PEMUDA DI ERA GLOBALISASI



Pada zaman globalisasi ada proses penyatuan di mana terjalin tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah.Tak dapat dibendung, arus globalisasi membawa dampak positif dan negatif. Sisi positifnya kita tidak akan ketinggalan dan mendapat banyak manfaat dalam berbagai hal. Dampak negatifnya kita akan tersingkir jika tidak mampu bersaing dan ”wilayah-wilayah” nasionalisme kita akan terkikis karena berbagai kepentingan.

Sekitar 81 tahun yang lalu tepatnya tanggal 28 Oktober 1928, masyarakat kita hanya mengenal beberapa negara dengan berbagai budaya dan peradaban yang masih sederhana, namun memberi pengaruh yang sangat besar terhadap perjuangan bagi bangsa yang tertindas. Para pemuda kita yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia mengadakan kongres dengan rapat pertama tanggal 27 Oktober 1928, dan yang kedua tanggal 28 Oktober 1928 Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomo dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.

Pada rapat penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu "Indonesia Raya" karya Wage Rudolf Supratman yang dimainkan dengan biola saja tanpa syair, atas saran Sugondo kepada Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.

Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie serta Kwee Thiam Hong sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond. Diprakarsai oleh AR Baswedan pemuda keturunan arab di Indonesia mengadakan kongres di Semarang dan mengumandangkan Sumpah pemuda keturunan arab. (wikipedia)

Sekarang bagaimana dengan para pemuda kita di Era Globalisasi, masih hapalkah atau yang sederhananya masih ingatkah dengan tiga isi Sumpah Pemuda? Mari kita simak dan apa yang terjadi dengan pemuda kita saat ini:
1.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air

Indonesia.

Sempat terjadi pertumpahan darah diberbagai daerah, dan beberapa tanah air terlepas

serta memisahkan diri karena beberapa keadaan yang sulit ditambah dengan

pengetahuan terhadap tapal batas yang kurang jelas. Ketika diusik negara lain, muncul

semacam semangat nasionalisme namun kadang dangkal dalam memahami.


2.Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa

Indonesia.

Pemuda kita mengakui berbangsa satu, baik yang berada di dalam maupun di luar

negeri, namun buat sebagian cenderung bangga dengan bangsa lain dan meremehkan

negeri sendiri, berdalih kualitas lalu membiarkan saja apa adanya.


3.Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa

Indonesia.

Bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan, dalam penulisan karya ilmiah dan karya

sastra masih dipertahankan kaidah-kaidahnya, namun cenderung menggunakan kata

asing karena sulit mencari padanan kata, sementara itu pada karya sastra masih banyak

terdapat kata dan bahasa “gaul” karena pertimbangan pasar dan selera konsumen.

Penulisan pada komunikasi seperti pada HP, internet dan sebagainya, bebas tanpa

ada batasan, dengan gaya tulisan yang kadang sulit dimengerti, namun berusaha untuk

mengerti. Padahal bangsa asing yang ingin belajar bahasa Indonesia lebih menyukai bahasa

Indonesia yang baik dan benar.

Lalu apakah kita membiarkan saja keadaan ini? Siapa yang bertanggung jawab? Lembaga mana yang wajib membenahinya dengan beberapa aturan? Semua kembali kepada sejauh mana kepedulian kita sebagai bangsa yang berbudaya yang mengantarkan kita kepada keniscayaan menuju Indonesia maju. (Ruslimah. 2009)